Minggu, 30 November 2014

SEJARAH SINGKAT MUNCULNYA MADZHAB DALAM ISLAM

 A. Pendahuluan

Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية)
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku   hanya  kepada satu pendapat saja.

B. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Dalam Islam
Sebenarnya ikhtilaf  telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis  menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1.        Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2.        Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3.        Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
       Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
       Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
       Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
       Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim” adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-masing mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Menurut Harun Nasution, aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal, ada yang tradisional dan ada pula yang bercorak antara liberal dan tradisional. Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah  yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam  yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.

C. Pengertian Mazhab

Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo,  adalah  pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian

a.  Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.

b.    Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail,  para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada. 
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada,  maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang  hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

a.       ahl al-Ra’yi

kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi

b.      ahl al-Hadis terdiri atas :

1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah

a.       Syi’ah Zaidiyah

b.      Syi’ah Imamiyah

3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah

a.       Mazhab al-Auza’i

b.      Mazhab al-Zhahiry

c.       Mazhab al-Thabary

d.      Mazhab al-Laitsi


Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :

1.      Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)

2.      Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)

3.      Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)

4.      Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)

5.      Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)

6.      Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)

7.      Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)

8.      Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)

9.      Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)

10.  Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)

11.  Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)

12.  Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)

13.  Ibnu Jarir at-Thabari


Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut.

D. Penutup
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi semenjak masa Islam yang paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan terjadi adanya cirri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab dalam memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat Islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memendang serta memahami arti perbedaan, hingga sampai satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan – selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran – dan Islam adalah satu dalam keragaman.

 Daftar Pustaka
Abu Sulaiman, Abd. Al-Wahab Ibrahim, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet. I, 1983.
Hasan, M. Ali,  Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.
Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Imbabi, M. Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al-tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986
Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003
Khomis, Qasim Abdul Aziz, Aqwal al-Shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Nasution, Harun,  Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 2002.
Rahmat, Jalaluddin, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh Artikel yayasan Paramadina, www. Media.Isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html.
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti, Cet I, 1995.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III, 2003.

Yunus, Mahmud,  Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990.

Sabtu, 29 November 2014

AL- AHKAM AL – KHAMSAH

Ahkam adalah jamak dari hukum. Khamsah artinya lima. Dengan demikian, yang dimaksud al-ahkam al-khamsah yang disebut juga hukum taklifi adalah lima macam kaidah atau lima katagori penilayan mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam islam.
Dalam al-ahkam al-khamsah ada lima penilayan mengenai benda atau perbuatan manusia. Perbuatan itu mulai dari mubah (ja’iz), sunnah (mandub), makruh, wajib (fardhu) dan haram.
Di dalam sistem tata norma islam, ajaran al-ahkam al-khamsah ini meliputi seluruh kehidupan manusia, di dalam segala lingkungannya.
Dengan kata lain Al Ahkam Al Khamsah atau biasa disebut Hukum Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban maupun larangan.
Kelima hukum taklifi antara lain :

1.        WAJIB ( FARDHU)
Wajib atau fardhu adalah apa yang di tuntut oleh allah secara tegas. Baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i ataupun dhanni. Sedangkan menurut Jumhur, wajib atau fardhu adalah apa yang di tuntut oleh Allah untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, juga yang pelakunya akan diganjar dan dipuji, dan demikian pula sebaliknya.³ Contoh, seperti shalat lima waktu dan Puasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,
Wajib atau fadhu ini bisa di klasifikasikan berdasarkan aspek yang berbeda, ada yang berkaitan dengan pelaksanaannya, ukuranya dan ketentuanya, ketertentuan dan ketidaktertentuanya, serta berkaitan dengan apa yang dibebankanya, sebagai berikut :
a. Dari aspek pelaksanaanya, hukum wajib atau fardu tersebut dapat dibedakan menjadi :
1)        Muthlaq ( tidak terikat), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa harus terikat dengan waktu tertentu, seperti mengganti puasa Ramadhan bagi yang tidak berpuasa krena uzhur yang dibenarkan oleh syariat.
2)        Muqayyad (terikat), yaitu yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, sementara waktunya ditentukan. Misalnya, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah tersebut terikat oleh waktu, sehingga seorang mukallaf yang terkena kewajiban tersebut akan berdosa jika mengerjakannya diuar waktunya.
3)        Muwassa’ (longgar), yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya longgar. Contoh, shalat isya’, bisa dikerjakan diawal ataupun ditengah malam.
4)        Mudhayyaq (sempit), yaitu kebajiban yang waktu pelaksanaannya sempit , tidak bisa dipilih antara awal ataupun pertengahan. Misalnya puasa Ramadhan, waktunya tetap mulai fajar hingga terbenam matahari.

b. Dari aspek keterukurannya, wajib atau fardu dapat diklasifikasikan menjadi :
1)        Muhaddad al-Miqdar (dengan ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai dengan kadar ukuran tertentu, seperti membayar zakat dan rakaat dalam shalat fardu.
2)        Ghayr Muhaddat al-Miqdar (dengan tanpa ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa disertai kadar kadar tertentu, seperti membelanjakan harta dijalan Allah dan nafkah kepada istri dan anak.

c. Dari aspek substansi (ayniyyah-nya) wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi :
1)      Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar substansinya dikerjakan dengan tuntutan yang tengas, tanpa disertai pilihan yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf, seperti shalat.
2)      Ghayr Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai pilihan bagi seorang mukallaf untuk menentukan mana substansi kewajiban yang dikerjakan. Misal kafarat untuk sumpah.

d. Dari aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardu tersebut bisa  diklasifikasikan menjadi :
1)   ‘Ayn (perkepala), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh setiap mukallaf dengan tuntutan yang tegas, karna itu apa yang dilakukan seseorang tidak bisa menggugurkan kewajiban orang lain. Contohnya seperti, shalat, zakat, puasa dan sebagainya.
2)   Kifayah (kolektif), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh sejumlah orang denga tuntutan yang tegas, jika telah dikerjakan oleh sebagian, maka kewajiban tersebunt gugur dari dari pundak yang lain, dan mereka sudah tidak berdosa.

e.  Dari aspek substantifnya, wajib danfardu tersebut juga dapat diklasifikasikan menjadi :
1)   Wajib Lidzatihi (substansial), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya.
2)   Wajib Lighayrihi (aksidental), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal, ketika ia menjadi sarana yang bisa menyempurnakan kewajiban substantif.

2.        SUNNAH ( MANDUB)
Menurut istilah syara’, sunnah adalah apa yang dituntut oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas, apa yang dilakukan akan diganjar dan tidak disiksa jika meninggalkannya.
Sunnah kadang bersifat Muakkad (yang dikuatkan), seperti sunnah shalat subuh dan Id. Ada yang tidak Muakkad, seperti sunah shalat Ashar. Hukum ini memang jika dikerjakan, pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa, namun adakalanya tidak baik untuk ditinggalkan seperti sunnah menikah. Karena jika ditinggalkan, umat akan mengalami degenerasi atau tidak mempunyai penerus.

3.        HARAM
Secara etimologis, haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar4. Menurut syara’ adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam, dikenai saksi di dunia dan azab di akhirat. Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk larangan yang tegas disertai dalil qath’i, namun jika tidak disertai dalil qath’i, maka disebut dengan makruh tahrim5. Meskipun sebenarnya, dua-duanya maksudnya sama.
Sebagai contoh dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Isra ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Haram ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu haram substansial dan haram aksidental :
a.    Haram Lidzatihi (substansial) adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya. Misalnya zina, riba, membunuh dan suap.
b.    Haram Lighayrahi ( aksidental), adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal.Misalnya menghina tuhan para penganut agama lain.

4.        MAKRUH
Makruh adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana pelakunya tidak akan disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan akan diganjar oleh Allah SWT.
Aktivitas yang berstatus hukum makruh dilarang namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. Atau dengan kata lain perbuatan makruh dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan. Seperti Makan/Minum sambil berdiri dan Merokok.

5.        MUBAH

Secara syar’i, mubah adalah khithab dari pembuat syariat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i yang didalamnya berisi pilihan antara melaksanakan dan meninggalkan tanpa disertai kompensasi. Contoh seperti makan dan minum.

contoh Praktek Jual Beli