Selasa, 28 November 2017

Tiga Karya Monumental al-Farabi

Filosof Muslim Abu Nasr al-Farabi (870-950) dikenal karena kemampuannya menyinergikan berbagai pemikiran filosofis yang dianggap bertentangan. Penerus al- Kindi bergelar guru kedua atau al-Muallim as-Sani ini memiliki banyak karya tulis yang menjadi rujukan ilmuwan Barat.

Kitab karangannya banyak membahas ilmu logika, falsafah yang membicarakan ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Selain terinspirasi dari peradaban lain, karya-karya tersebut merupakan kreasi al-Farabi yang telah memperkaya tradisi keilmuan itu dengan pandangan hidup Islam. Berikut adalah tiga karyanya yang dibaca banyak orang.

Mempertemukan Plato dan Aristoteles

Ilmuwan dari kata Farab yang kini masuk Kazakhstan ini adalah orang pertama yang menggabungkan pemikiran dua filosof Plato dan Aristoteles. Dalam bukunya al- Jam'u bayna Ra'yay al-Hakimayn, dia menilai kedua filosof itu sama-sama membahas ketuhanan. Keduanya menyatu dalam kesamaan tentang adanya zat yang melebihi kemampuan manusia sehingga menjadi objek penyembahan.

Kitab tersebut menjadi rujukan ilmuwan Muslim sete - lah nya untuk memahami konsepsi ketuhanan, alam, dan manusia, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Me - lalui ketuhanan, manusia menggali tentang nilai agama dan moral yang menjadi sumber kehidupan.

Sedangkan alam menginspirasi mereka untuk mengembangkan pemahaman tentang berbagai ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan mendalami manusia, ilmuwan mendapatkan ilmu psikologi, biologi, dan berbagai misteri tentang manusia.

Membangun Kota Ideal

Gagasan filosofis al-Farabi juga terlihat jelas dalam pandangannya tentang membangun kota ideal. Pemikiran yang termaktub dalam kitab Ara Ahlul Madinah al-Fadhilah ini banyak membicarakan tentang konsep kepemimpinan dalam Islam.

Menurutnya, kota ideal pasti dipimpin oleh pemimpin yang berkompeten. Sosok tersebut pasti memiliki kemampuan yang sama seperti nabi atau pun utusan Allah. Pemimpin akan berkomunikasi dengan Sang Pencipta untuk menentukan masa depan orang-orang yang dipimpinnya.

Kemampuan itu membuat dirinya selalu mendapatkan petunjuk Allah, sehingga kepemimpinan mengarah kepada kemakmuran dan kesejahteraan. Kitab ini juga menginspirasi banyak ilmuwan, baik Islam mau pun Barat, untuk mengembangkan ilmu politik dan administrasi negara

Kitab Musika

Satu hal yang unik. Di antara karya yang 'berat' berisikan falsafah, politik, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya, al-Farabi menulis kitab yang memotivasi seniman. Kitab itu mengajarkan tentang alat-alat yang mampu mengeluarkan suara indah.

Kitabul Musiqa mengajarkan masyarakat tentang adanya kombinasi suara sehingga menjadi indah didengar. Alunan nada yang berasal dari berbagai alat kreasi manusia menjadi hiburan melepas kepenatan dan kejenuhan masyarakat.
 

Filsafat Menurut al-Kindi


Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).

Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.

Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.

Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.

Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.

Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas. 


disadur dari Rubrik Khazanah Harian Republika, Selasa 28 November 2017  

contoh Praktek Jual Beli