AL- AHKAM AL – KHAMSAH
Ahkam adalah jamak dari hukum. Khamsah
artinya lima. Dengan demikian, yang dimaksud al-ahkam al-khamsah yang disebut
juga hukum taklifi adalah lima macam kaidah atau lima katagori penilayan
mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam islam.
Dalam al-ahkam al-khamsah ada lima penilayan mengenai benda atau
perbuatan manusia. Perbuatan itu mulai dari mubah (ja’iz), sunnah (mandub),
makruh, wajib (fardhu) dan haram.
Di dalam sistem tata norma islam, ajaran al-ahkam al-khamsah ini
meliputi seluruh kehidupan manusia, di dalam segala lingkungannya.
Dengan kata lain Al Ahkam Al Khamsah atau
biasa disebut Hukum Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf
atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam
bentuk hak, kewajiban maupun larangan.
Kelima hukum taklifi antara lain :
1.
WAJIB ( FARDHU)
Wajib atau fardhu adalah apa yang di
tuntut oleh allah secara tegas. Baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i
ataupun dhanni. Sedangkan menurut Jumhur, wajib atau fardhu adalah apa yang di
tuntut oleh Allah untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, juga yang
pelakunya akan diganjar dan dipuji, dan demikian pula sebaliknya.³ Contoh,
seperti shalat lima waktu dan Puasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat
183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,
Wajib atau fadhu ini bisa di klasifikasikan
berdasarkan aspek yang berbeda, ada yang berkaitan dengan pelaksanaannya,
ukuranya dan ketentuanya, ketertentuan dan ketidaktertentuanya, serta berkaitan
dengan apa yang dibebankanya, sebagai berikut :
a. Dari aspek
pelaksanaanya, hukum wajib atau fardu tersebut dapat dibedakan menjadi :
1)
Muthlaq ( tidak terikat), yaitu apa yang dituntut oleh
pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa harus terikat
dengan waktu tertentu, seperti mengganti puasa Ramadhan bagi yang tidak
berpuasa krena uzhur yang dibenarkan oleh syariat.
2)
Muqayyad (terikat), yaitu yang dituntut oleh pembuat
syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, sementara waktunya
ditentukan. Misalnya, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah
tersebut terikat oleh waktu, sehingga seorang mukallaf yang terkena kewajiban
tersebut akan berdosa jika mengerjakannya diuar waktunya.
3)
Muwassa’ (longgar), yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya
longgar. Contoh, shalat isya’, bisa dikerjakan diawal ataupun ditengah malam.
4)
Mudhayyaq (sempit), yaitu kebajiban yang waktu
pelaksanaannya sempit , tidak bisa dipilih antara awal ataupun pertengahan. Misalnya puasa Ramadhan, waktunya tetap mulai fajar hingga terbenam
matahari.
b. Dari aspek
keterukurannya, wajib atau fardu dapat diklasifikasikan menjadi :
1)
Muhaddad al-Miqdar (dengan ukuran tertentu), yaitu apa yang
dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas,
disertai dengan kadar ukuran tertentu, seperti membayar zakat dan rakaat dalam
shalat fardu.
2)
Ghayr Muhaddat al-Miqdar (dengan tanpa ukuran tertentu), yaitu apa
yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas,
tanpa disertai kadar kadar tertentu, seperti membelanjakan harta dijalan Allah
dan nafkah kepada istri dan anak.
c. Dari
aspek substansi (ayniyyah-nya) wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan
menjadi :
1)
Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar
substansinya dikerjakan dengan tuntutan yang tengas, tanpa disertai pilihan
yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf, seperti shalat.
2)
Ghayr Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar
dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai pilihan bagi seorang mukallaf
untuk menentukan mana substansi kewajiban yang dikerjakan. Misal kafarat untuk
sumpah.
d. Dari
aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi :
1)
‘Ayn (perkepala), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar
dikerjakan oleh setiap mukallaf dengan tuntutan yang tegas, karna itu apa yang
dilakukan seseorang tidak bisa menggugurkan kewajiban orang lain. Contohnya
seperti, shalat, zakat, puasa dan sebagainya.
2)
Kifayah (kolektif), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat
agar dikerjakan oleh sejumlah orang denga tuntutan yang tegas, jika telah
dikerjakan oleh sebagian, maka kewajiban tersebunt gugur dari dari pundak yang
lain, dan mereka sudah tidak berdosa.
e. Dari aspek substantifnya, wajib danfardu tersebut juga dapat
diklasifikasikan menjadi :
1)
Wajib Lidzatihi (substansial), yaitu apa yang dituntut untuk
dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya.
2)
Wajib Lighayrihi (aksidental), yaitu apa yang dituntut untuk
dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena
faktor eksternal, ketika ia menjadi sarana yang bisa menyempurnakan kewajiban
substantif.
2.
SUNNAH (
MANDUB)
Menurut istilah syara’, sunnah adalah apa yang
dituntut oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak
tegas, apa yang dilakukan akan diganjar dan tidak disiksa jika meninggalkannya.
Sunnah kadang bersifat Muakkad (yang
dikuatkan), seperti sunnah shalat subuh dan Id. Ada yang tidak Muakkad, seperti
sunah shalat Ashar. Hukum ini memang jika dikerjakan, pelakunya akan
mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa, namun
adakalanya tidak baik untuk ditinggalkan seperti sunnah menikah. Karena jika
ditinggalkan, umat akan mengalami degenerasi atau tidak mempunyai penerus.
3.
HARAM
Secara etimologis, haram diambil
dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar4. Menurut
syara’ adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas,
dimana pelakunya akan dikecam, dikenai saksi di dunia dan azab di akhirat.
Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk larangan yang tegas
disertai dalil qath’i, namun jika tidak disertai dalil qath’i, maka disebut
dengan makruh tahrim5. Meskipun sebenarnya, dua-duanya maksudnya sama.
Sebagai contoh dalam firman Allah SWT dalam
surah Al-Isra ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Haram ini dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu haram substansial dan haram aksidental :
a.
Haram Lidzatihi (substansial) adalah apa yang dituntut untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya. Misalnya zina,
riba, membunuh dan suap.
b.
Haram Lighayrahi ( aksidental), adalah apa yang dituntut untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun
karena faktor eksternal.Misalnya menghina tuhan para penganut agama lain.
4.
MAKRUH
Makruh adalah apa yang dituntut untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana pelakunya tidak akan
disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan akan diganjar oleh
Allah SWT.
Aktivitas yang berstatus hukum
makruh dilarang namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. Atau dengan
kata lain perbuatan makruh dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya
tidak dilakukan. Seperti Makan/Minum sambil berdiri dan Merokok.
5.
MUBAH
Secara syar’i, mubah adalah khithab dari
pembuat syariat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i yang didalamnya berisi
pilihan antara melaksanakan dan meninggalkan tanpa disertai kompensasi. Contoh
seperti makan dan minum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar