Sabtu, 29 November 2014

AL- AHKAM AL – KHAMSAH

Ahkam adalah jamak dari hukum. Khamsah artinya lima. Dengan demikian, yang dimaksud al-ahkam al-khamsah yang disebut juga hukum taklifi adalah lima macam kaidah atau lima katagori penilayan mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam islam.
Dalam al-ahkam al-khamsah ada lima penilayan mengenai benda atau perbuatan manusia. Perbuatan itu mulai dari mubah (ja’iz), sunnah (mandub), makruh, wajib (fardhu) dan haram.
Di dalam sistem tata norma islam, ajaran al-ahkam al-khamsah ini meliputi seluruh kehidupan manusia, di dalam segala lingkungannya.
Dengan kata lain Al Ahkam Al Khamsah atau biasa disebut Hukum Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban maupun larangan.
Kelima hukum taklifi antara lain :

1.        WAJIB ( FARDHU)
Wajib atau fardhu adalah apa yang di tuntut oleh allah secara tegas. Baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i ataupun dhanni. Sedangkan menurut Jumhur, wajib atau fardhu adalah apa yang di tuntut oleh Allah untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, juga yang pelakunya akan diganjar dan dipuji, dan demikian pula sebaliknya.³ Contoh, seperti shalat lima waktu dan Puasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,
Wajib atau fadhu ini bisa di klasifikasikan berdasarkan aspek yang berbeda, ada yang berkaitan dengan pelaksanaannya, ukuranya dan ketentuanya, ketertentuan dan ketidaktertentuanya, serta berkaitan dengan apa yang dibebankanya, sebagai berikut :
a. Dari aspek pelaksanaanya, hukum wajib atau fardu tersebut dapat dibedakan menjadi :
1)        Muthlaq ( tidak terikat), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa harus terikat dengan waktu tertentu, seperti mengganti puasa Ramadhan bagi yang tidak berpuasa krena uzhur yang dibenarkan oleh syariat.
2)        Muqayyad (terikat), yaitu yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, sementara waktunya ditentukan. Misalnya, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Pelaksanaan ibadah tersebut terikat oleh waktu, sehingga seorang mukallaf yang terkena kewajiban tersebut akan berdosa jika mengerjakannya diuar waktunya.
3)        Muwassa’ (longgar), yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya longgar. Contoh, shalat isya’, bisa dikerjakan diawal ataupun ditengah malam.
4)        Mudhayyaq (sempit), yaitu kebajiban yang waktu pelaksanaannya sempit , tidak bisa dipilih antara awal ataupun pertengahan. Misalnya puasa Ramadhan, waktunya tetap mulai fajar hingga terbenam matahari.

b. Dari aspek keterukurannya, wajib atau fardu dapat diklasifikasikan menjadi :
1)        Muhaddad al-Miqdar (dengan ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai dengan kadar ukuran tertentu, seperti membayar zakat dan rakaat dalam shalat fardu.
2)        Ghayr Muhaddat al-Miqdar (dengan tanpa ukuran tertentu), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, tanpa disertai kadar kadar tertentu, seperti membelanjakan harta dijalan Allah dan nafkah kepada istri dan anak.

c. Dari aspek substansi (ayniyyah-nya) wajib dan fardhu tersebut bisa diklasifikasikan menjadi :
1)      Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar substansinya dikerjakan dengan tuntutan yang tengas, tanpa disertai pilihan yang bisa dipilih oleh seorang mukallaf, seperti shalat.
2)      Ghayr Mu’ayyan, yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, disertai pilihan bagi seorang mukallaf untuk menentukan mana substansi kewajiban yang dikerjakan. Misal kafarat untuk sumpah.

d. Dari aspek subyek yang terkena tanggung jawab, wajib dan fardu tersebut bisa  diklasifikasikan menjadi :
1)   ‘Ayn (perkepala), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh setiap mukallaf dengan tuntutan yang tegas, karna itu apa yang dilakukan seseorang tidak bisa menggugurkan kewajiban orang lain. Contohnya seperti, shalat, zakat, puasa dan sebagainya.
2)   Kifayah (kolektif), yaitu apa yang dituntut oleh pembuat syariat agar dikerjakan oleh sejumlah orang denga tuntutan yang tegas, jika telah dikerjakan oleh sebagian, maka kewajiban tersebunt gugur dari dari pundak yang lain, dan mereka sudah tidak berdosa.

e.  Dari aspek substantifnya, wajib danfardu tersebut juga dapat diklasifikasikan menjadi :
1)   Wajib Lidzatihi (substansial), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya.
2)   Wajib Lighayrihi (aksidental), yaitu apa yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal, ketika ia menjadi sarana yang bisa menyempurnakan kewajiban substantif.

2.        SUNNAH ( MANDUB)
Menurut istilah syara’, sunnah adalah apa yang dituntut oleh pembuat syariat untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak tegas, apa yang dilakukan akan diganjar dan tidak disiksa jika meninggalkannya.
Sunnah kadang bersifat Muakkad (yang dikuatkan), seperti sunnah shalat subuh dan Id. Ada yang tidak Muakkad, seperti sunah shalat Ashar. Hukum ini memang jika dikerjakan, pelakunya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa, namun adakalanya tidak baik untuk ditinggalkan seperti sunnah menikah. Karena jika ditinggalkan, umat akan mengalami degenerasi atau tidak mempunyai penerus.

3.        HARAM
Secara etimologis, haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar4. Menurut syara’ adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam, dikenai saksi di dunia dan azab di akhirat. Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk larangan yang tegas disertai dalil qath’i, namun jika tidak disertai dalil qath’i, maka disebut dengan makruh tahrim5. Meskipun sebenarnya, dua-duanya maksudnya sama.
Sebagai contoh dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Isra ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Haram ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu haram substansial dan haram aksidental :
a.    Haram Lidzatihi (substansial) adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, karna substansinya. Misalnya zina, riba, membunuh dan suap.
b.    Haram Lighayrahi ( aksidental), adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena faktor eksternal.Misalnya menghina tuhan para penganut agama lain.

4.        MAKRUH
Makruh adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak tegas, dimana pelakunya tidak akan disiksa, sementara meninggalkannya lebih baik, terpuji dan akan diganjar oleh Allah SWT.
Aktivitas yang berstatus hukum makruh dilarang namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya. Atau dengan kata lain perbuatan makruh dapat diartikan sebagai perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan. Seperti Makan/Minum sambil berdiri dan Merokok.

5.        MUBAH

Secara syar’i, mubah adalah khithab dari pembuat syariat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i yang didalamnya berisi pilihan antara melaksanakan dan meninggalkan tanpa disertai kompensasi. Contoh seperti makan dan minum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

contoh Praktek Jual Beli